Siapa
mengira, 90 persen anak Indonesia mengidap cacingan? Rendahnya mutu sanitasi
menjadi penyebabnya. Pemiskinan fisik hingga IQ loss adalah beberapa akibatnya.
Meski
sering dianggap angin lalu, penyakit akibat diserapnya makanan oleh cacing di
dalam tubuh sebaiknya tidak diremehkan. Dampaknya bagi si penderita ternyata
tak kalah berbahaya ketimbang penyakit lain. Apalagi, yang jadi korban
kebanyakan adalah anak-anak.
“Khususnya
anak usia dua tahun ke atas yang mulai bermain di lantai/ tanah. Nah, tanahnya
itu sudah tercemar (soiled), terutama oleh kotoran manusia,” kata dr Adi Tagor
SpA DPH dari RS Pondok Indah Jakarta.
Cacingan
merupakan penyakit khas daerah tropis dan sub-tropis, dan biasanya meningkat
ketika musim hujan. Pada saat tersebut, sungai dan kakus meluap, dan larva
cacing menyebar ke berbagai sudut yang sangat mungkin bersentuhan dan masuk ke
dalam tubuh manusia. Larva cacing yang masuk ke dalam tubuh perlu waktu 1-3
minggu untuk berkembang. Cacing yang biasa “menyerbu” tubuh manusia adalah
cacing tambang, cacing gelang, dan cacing kremi.
“Di
daerah dimana sanitasi lingkungan masih buruk, seperti Indonesia, hampir 90
persen anak-anaknya pasti terkena cacingan,” lanjut Adi.
Di
Indonesia seharusnya tidak lagi menggunakan septictank untuk keperluan buang
air besar. “Khususnya di Jakarta, karena daerahnya sangat padat, seharusnya
tinja langsung dibuang ke tempat penampungan, seperti di Singapura.”
Ketika
seorang anak yang cacingan buang air besar di lantai, maka telur atau sporanya
bisa tahan berhari-hari, meskipun sudah dipel. “Sebelum dapat rumah, larva
tidak akan keluar (menetas). Begitu masuk ke usus, baru ia akan keluar.”
Selain
melalui makanan yang tercemar oleh larva cacing, cacing juga masuk ke tubuh
manusia melalui kulit (pori-pori). Dari tanah, misalnya lewat kaki anak
telanjang yang menginjak larva atau telur. Bisa juga larva cacing masuk melalui
pori-pori, yang biasanya ditandai dengan munculnya rasa gatal.
“Setelah
menembus kulit, ia masuk ke pembuluh darah vena (balik), lalu menuju paru-paru.
Nah, di paru-paru inilah muncul Sindroma Loffler. Anak jadi batuk seperti TBC,
berdahak seperti asma. Ini termasuk ke dalam siklus perjalanan cacing.”
Setelah
itu, cacing menggigit dinding usus bertelur dengan cepat di usus. “Di usus
inilah makanan dipecah menjadi nutrient (zat gizi elementer yang sudah bisa
diserap oleh usus). Ini yang “dibajak” oleh cacing. Jadi, cacing itu memang
berdomisili di usus, karena ia tidak bisa mencernakan sendiri makanan. Ia harus
makan yang sudah setengah cerna.”Selain siklus normal, cacing juga bisa
menyebar ke tempat-tempat lain, seperti hati atau bagian tubuh lain.
Nutrisi
Dibajak
Dampak
cacingan ternyata tidak sepele. Dari pertumbuhan fisik yang terhambat, hingga
IQ loss. Dampak yang paling banyak adalah anemia atau kadar haemoglobin (Hb)
rendah. Adi melanjutkan, Hb sangat vital bagi manusia.
“Fungsinya
seperti alat angkut, seperti truk, yang membawa oksigen dan makanan dari usus
ke seluruh organ tubuh,” jelas Adi yang mengibaratkan fungsi kerja Hb yang
seperti Bulog yang mengantar beras. “Kalau truk-nya sedikit, ya kiriman
berasnya akan telat. Begitu pun pada orang yang anemia. Suplai oksigen dan
nutrient ke otak sedikit, ke ginjal sedikit.”
Padahal,
seorang anak yang sedang tumbuh membutuhkan banyak nutrient. “Nutrisi itu
dibagi dua, yaitu makro nutrient (karbohidrat, lemak, protein, air) dan mikro
nutrient (vitamin dan mineral). Nah, ini yang dibajak. Jadi, yang gemuk
cacingnya, bukan anaknya,” tandas Adi. “Di dalam tubuh, cacing-cacing ini akan
beranak lagi, lagi, dan lagi. Kadang-kadang, kalau menggumpal, bentuknya
seperti bola. Bisa juga terjadi “erratic”, cacing keluar keluar lewat hidung
atau mulut.”
Anemia
membuat anak gampang sakit karena tidak punya daya tahan. “Gimana mau sehat
kalau zat-zat untuk membuat daya tahan, terutama protein, sudah dibajak di usus
oleh cacing,” lanjutnya. Anak juga akan kehilangan berat badan, dan prestasi
belajar turun.
Berakibat
fatal
Cacingan
juga bisa berakibat fatal. “Bisa ke empedu, meski jarang, atau bikin usus
bolong. Fatalnya memang tidak secara langsung, tapi karena fisiknya lemah, daya
tahan turun, maka penyakit lain pun masuk. Nah, penyakit lain inilah yang bikin
fatal.”
Gejala
cacingan biasanya ditandai dengan sakit perut, diare berulang, dan kembung.
“Seringkali juga ada kolik yang tidak jelas dan berulang,” jelas Adi. Kalau
sudah parah, “Muka anak akan tampak pucat dan badan kurus. Ini berarti sudah
terjadi pemiskinan secara fisik,” lanjut dokter spesialis anak yang juga
pemegang diploma kesehatan publik dari Singapura ini.
Kapan
orangtua membawa anak ke dokter? Di daerah tropis dan sub-tropis, apalagi di
daerah yang sanitasinya buruk, hampir semua anak pasti cacingan. Di daerah
miskin, angka cacingan pada anak bahkan dipastikan bisa 100 persen.
“Jadi,
nggak perlu diperiksa, pasti cacingan. Oleh karena itu, setiap enam bulan
sekali pada masa usia tumbuh, yaitu usia 0 sampai sekitar usia 15 tahun, anak
diberi obat cacing.” Jangka waktu enam bulan ini untuk memotong siklus
kehidupan cacing.
Dewasa
Juga Cacingan
Menurut
Adi Tagor, orang dewasa pun bisa cacingan. “Obat cacingnya untuk orang dewasa
juga ada, tapi diberikan setahun sekali.” Yang membedakan cacingan pada anak
dan pada dewasa adalah, anak-anak masih tumbuh dan berkembang, sementara orang
dewasa sudah tidak lagi tumbuh dan berkembang. “Orang dewasa juga masih bisa
survive, bisa melawan sendiri cacing yang ada.”
Yang
harus dicermati adalah, kira-kira 60-80 persen penyakit yang terjadi pada usia
dewasa dimulai di usia pertumbuhan. Misalnya, anemia kronis akibat cacingan.
Ini akan membuat jumlah sel otak berkurang karena kekurangan nutrisi selama
masa tumbuh kembang.
Akibatnya,
ketika dewasa, kualitas fisik dan IQ orang tersebut tentu akan berkurang juga.
Contoh lain, ketika kecil terkena penyakit infeksi yang tidak ketahuan.
“Setelah dewasa sakit ginjal, dan sebagainya.”
Tips
Menghindari Cacingan
- Biasakan anak untuk membersihkan tangan dengan sabun, sebelum makan, seusai makan, atau setelah bermain, khususnya di luar rumah.
- Potong kuku anak secara teratur. Kuku panjang bisa menjadi tempat bermukim larva cacing.
- Ajari anak untuk tidak terbiasa memasukkan tangan ke dalam mulutnya. Selalu pakaikan sandal atau sepatu setiap kali anak bermain di luar rumah.
- Jaga kebersihan sanitasi lingkungan, misalnya dengan rajin membersihkan kakus atau septictank.